Perjalanan Quran dari Jerman - Itali - Turki Sampai ke Indonesia

Tags

Informasi tentang sejarah pencetakan al-Qur’an masih minim dan simpang siur. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus untuk merekonstruksi sejarah pencetakan al-Qur’an yang objektif dan nir-bias. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi sejarawan muslim dan pengkaji al-Qur’an.

Pada tahun 2004, sarjana-sarjana pengkaji al-Qur’an di Jerman dan Netherland telah menjawab ‘PR’ tersebut. Penerbit IDC, penerbit akademis buku-buku sumber yang jarang di Leiden telah me-launching hasil penelitian koleksi-koleksi al-Qur’an yang dicetak di Barat pada tahun 1537-1857 M. Penelitian tersebut dibukukan dengan judul Early Printed Korans: The Dissemination of the Koran in the West, yang diedit oleh Hartmut Bobzin dan August den Hollander. Buku ini memberikan informasi yang lebih tentang sejarah pencetakan al-Qur’an awal yang cukup comprehensif dan terhitung baru. Meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya bias-bias kepentingan.

Selain buku tersebut, Encyclopaedia of the Qur’an (Brill: Leiden-Boston, 2004) yang di-chief-editor-i oleh Jane Dammen McAuliffe, juga memberikan informasi yang cukup memuaskan tentang sejarah pencetakan al-Qur’an, terutama di entri Printing of the Qur’an yang ditulis oleh Michael W. Albin dan beberapa entri lainnya terkait dengan pencetakan al-Qur’an seperti Qur’an and Media.

Tulisan ini mencoba merangkum sejarah pencetakan al-Qur’an untuk pembaca dengan mengacu pada terutama kedua referensi tersebut dan referensi sekunder lainnya.

Informasi tentang siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana al-Qur’an dicetak pertama kali masih belum jelas betul. Namun mayoritas sarjana menyepakati bahwa Al-Qur’an pertama kali dicetak dengan the moveable type, (jenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg sekitar 1440 M di Mainz, Jerman) oleh Paganino dan Alessandro Paganini (ayah dan anak, keduanya adalah ahli pencetakan dan penerbitan), antara 9 Agustus dan 9 Agustus 1538 di Venice, Itali (sekarang lebih dikenal dengan Venesia. Sarjana Islam menyebut kota ini dengan al-Bunduqiiyah). Sebagian informasi menyatakan bahwa cetakan ini konon tidak beredar karena dilarang Gereja Katolik. Akhirnya cetakan tersebut musnahkan.

Namun informasi lain menyatakan bahwa lain. Konon, cetakan al-Qur’an yang dibuat oleh Paganino dan Alessandro Paganini akan dikirim ke Imperium Ottoman. Ketika Alessandro Paganini pergi ke Istanbul untuk menjual produknya (al-Qur’an cetakan), Kaisar Ottoman tidak menyambutnya dengan hangat karena banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang mencetak adalah orang yang dianggap kafir (non-muslim). Memang, sultan Ottoman, Bayazid II (1447 atau 8-1512 M) dan Salim I (1470-1520 M) pernah mengeluarkan larangan penggunaan buku-buku yang dicetak. Namun kebenaran isu ini masih tetap perlu diteliti lebih lanjut.

Pelarangan peredaran al-Qur’an sudah berlangsung berabad-abad semenjak Paus Clemens VI sekitar 1309 M. Hingga akhir, al-Qur’an boleh dicetak dan diedarkan apabila disertai komentar penyangkalan dan kritikan atas kebenaran isi al-Qur’an. Hal ini mendorong dicetaknya terjemah al-Qur’an. Terjemah al-Qur’an pertama kali ke dalam bahasa Latin dicetak di Nurenberg pada 1543 M.

Terjemahan al-Qur’an bahasa Latin dipersiapkan di Toledo oleh Robert of Ketton (Robertus Ketenensis), dibantu oleh seorang native Arab dan diedit oleh teolog Zurich, Theodore Bibliander. Edisi ini terdiri dari tiga bagian: al-Qur’an itu sendiri; sejumlah pembuktian kesalahan al-Qur’an oleh sarjana terkemuka; dan sejarah Turki. Edisi ini sukses besar dan dicetak ulang pada 1550 M.

Ada juga cetakan-cetakan bagian al-Qur’an, yakni Surah Yusuf. Cetakan surah Yusuf ini dilakukan oleh orientalis Belanda Thomas Epernius (1584-1624) pada 1617 di Leiden. Awalnya Surah Yusuf dijadikan sebagai bahan latihan untuk pelajaran bahasa Arab. Pada tahun tersebut Epernius telah mendidirikan percetakannya dengan tipe Arabic, yang disebut dengan ‘Erpenian type’, sebuah landmark dalam sejarah tipografi Eropa tentang Arab.

Pencetakan al-Qur’an berikutnya dilakukan di Hamburg pada 1694 oleh Abraham Hinckelmann yang memberikan kata pengantar dengan bahasa Latin. Empat tahun kemudian, yakni 1698, al-Qur’an cetakan edisi lain diterbitkan oleh Ludovico Maracci dengan tujuan teologis, dimana edisi ini dilengkapi dengan teks Arab dan terjemah bahasa Latin dan penolakan atas Islam oleh Ludovico Maracci.

Pada tahun 1701 orientalis Andreas Acoluthus dari Breslau mempublikasikan sebuah lembaran untuk sebuah poliglot al-Qur’an, yang di dalamnya di mencetak Surah Pertama al-Qur’an dalam bahasa Arab, Persia dan Turki.

Pada tahun 1787, Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherin II menyuruh agar al-Qur’an dicetak dengan tujuan politis, seperti toleransi keagamaan. Dia ingin agar keturunan Muslim Turki mudah mengakses kitab suci tersebut. Al-Qur’an cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan keterangan dari kitab-kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798.

Pendirian percetakan di dunia Islam tertunda karena para sultan di Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan buku-buku yang dicetak oleh orang Eropa—yang menurut mereka kafir. Oleh sebab itu, penerbitan untuk mencetak buku-buku didirikan pada akhir abad ke-15 di Constantinopel dan kota-kota lainnya di Imperium Ottoman.

Baru kemudian pada tahun 1787 Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-Quran dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal dengan edisi Malay Usmani.
Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di kota Volga, Kazan, al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1801 (ada pula yang menyatakan pada tahun 1803). Persia (Iran) mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1838. London pada tahun 1833. India pada tahun 1852, dan Istanbul pada tahun 1872.

Pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman, Gustav Flugel. Mungkin cetakan al-Qur’an yang lebih baik tinimbang edisi-edisi yang dicetak orang-orang Eropa sebelumnya. Edisi ini dilengkapi dengan concordance (pedoman penggunaan) al-Qur’an yang dikenal dengan Flugel edition. Terjemahan Flugel membentuk fondasi penelitian al-Qur’an modern dan menjadi basis sejumlah terjemahan baru ke dalam bahasa-bahasa Eropa pada tahun-tahun berikutnya. Edisi ini kemudian dicetak lagi pada tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893.

Namun edisi ini dinilai masih memiliki banyak kecacatan, terutama pada sistem penomeran surah yang tidak sesuai dengan yang digunakan umat Islam umumnya.
Pada tahun 1798, percetakan dimulai di Mesir. Pada saat itu Napoleon (1769-1821) berkampanye dengan mencetak leaflet dan pamflet-pamflet dekrit-dekrit dan peraturan Napoleon. Namun ketika Muhammad Ali Basha menjadi penguasa Mesir pada 1805, dia memulai laki kerja percetakan pada 1819 dan percatakan itu dinamai “al-Matba‘ah al-Ahliyah” (The National Press).

Namun pencetakan al-Qur’an di Mesir baru dimulai tahun antara 1923-1925. Edisi ini dicetak dengan percetakan modern. Edisi Mesir ini menjadi mushaf standar dimana bacaan al-Qur’an sudah diseragamkan. Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini juga dikenal dengan edisi Raja Fadh karena dialah yang memprakarsainya.

Di Asia Tenggara, al-Qur’an dicetak sendiri oleh orang daerah. Pada tahun 1848, menurut penelitian Abdurrazak dan Proudfoot, Muhammad Azhari, orang asli Sumatera membuat sebuah litografi al-Qur’an yang kemudian dia cetak pada tahun 1854. Kisahnya, setelah kembali dari pengembaraannya di Makkah, dia mampir di Singapura memberi peralatan dan perlengkapan percetakan.

Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kali Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang terkemuka, Badiuzzaman Sa’id Nursi (1876-1960).
Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman).

Mulai abad ke-20 pencetakan al-Qur’an sudah ditangani oleh umat Islam sendiri dan menjamur di negara-negara Islam. Pada tahun 1984 berdirilah percetakan khusus Al-Quran “Majma’ Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif”, percetakan terbesar di dunia, yang memang hanya mencetak Al-Quran saja. Letaknya di kota Madinah. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi.

Semenjak edisi Raja Fadh INI, al-Qur’an mulai dicetak dengan berbagai ukuran, bentuk, jenis kaligrafi, hiasan (ornamen) dan penambahan keterangan-keterangan lainnya, sebagaimana yang kita temukan sekarang ini. download bukunya disini

RINGKASAN : Al-Quran dan terjemahan ke berbagai bahasa di dunia


Al-Qur’ān (Arab: القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: "Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri. Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
Nama Nama Lain AlQuran :
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri.Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

Struktur dan Pembagian Al Quran
Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia.
Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya

AL QURAN Hingga Berbentuk MUSHAF
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.

Al-Qur'an tidak turun sekaligus.
Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah.Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan.Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat.

Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).

Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. diriwayatkan Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih: Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.

Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam). Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab.

Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS

Terjemahan dalam bahasa Inggris
The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall

Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
Al-Amin (bahasa Sunda)

Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada rasulullah jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.

ADab Terhadap Al Quran
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.

Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.

Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79.
tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka mempercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah."

Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi:
Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek). “Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”

Hubungan Dengan Kitab Kitab Lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah.
Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
saat ini Pemerintah Arab Saudi menyediakan terjemahan Alquran dalam 72 bahasa asing di Masjid Al-Haram untuk memudahkan para pengunjung mendapatkan Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka menjelang Ramadhan.

“Kami telah mengembangkan sistem teknologi state-of-the-art sehingga setiap pengguna smartphone dengan aplikasi barcode reader dapat digunakan untuk mendownload software Al-Qur’an di dalam Masjidil Haram dalam berbagai pilihan bahasa,” kata Ali Hamid Al Nafji, seorang pejabat senior di Masjidil Haram sebagaimana dikutip IINA News yang dilansir Mi’raj Islamic News Agency (MINA.

“Alquran dengan tafsir dan terjemahannya dapat didownload dengan sebagian besar bahasa utama di dunia, termasuk Sinhala, Telugu, Somalia, dan Cina,” ujarnya.

Menurut dia, jumlah rak di dalam masjid pun dua kali lipat di tingkatkan untuk menyertakan lebih banyak ruang penyimpanan Quran. “Jumlah rak di dalam Masjidil Haram telah ditingkatkan menjadi 4.000 rak yang berisi 950 ribu Mushaf Alquran dalam bahasa yang berbeda bagi jamaah masjid,” ungkap Ali Hamid.

Perkembangan Al-Qur’an pada 5 tahun terakhir sangatlah pesat. Berbagai jenis penyajian Al-Qur’an dapat kita temui di pasaran, mulai dari mushaf, Al-Qur’an dengan terjemahnya, Al-Qur’an dengan tafsirnya, digital Al-Qur’an, Al-Qur’an seluler, digital Al-Qur’an reader pen, hingga Al-Qur’an braile. Semua ini merupakan upaya yang dilakukan untuk memberantas buta huruf/aksara Al-Qur’an. Karena hasil survei Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta menyebutkan bahwa 65% umat Islam di Indonesia ternyata masih buta aksara Al-Qur’an, 35%-nya hanya bisa membaca Alquran, sedangkan yang membaca dengan benar hanya 20%. Sehingga produksi Al-Qur’an yang semula berorientasi pada passive learning menjadi active learning melalui berbagai keunggulan Al-Qur’an digital dengan penunjuk tata cara baca yang benar melalui gabungan media audio dan visual. Segmentasi Al-Qur’an kini juga jauh lebih beragam, mulai dari Al-Qur’an bergambar untuk anak-anak, Al-Qur’an friendly use and easy take untuk remaja hingga dewasa yang memiliki kesibukan tinggi, Al-Qur’an untuk manula yang dilengkapi dengan lampu penerang serta penyajian huruf yang lebih mudah dibaca, hingga Al-Qur’an untuk difabel seperti Al-Qur’an braile.

Rangkaian proses ini terjadi bertahap, mulai dari bagaimana menyebarkan Al-Qur’an secara merata, bagaimana menyebarkan Al-Qur’an dengan terjemahnya, lalu dengan tafsirnya, bagaimana memberantas buta aksara Al-Qur’an, bagaimana membenarkan cara baca Al-Qur’an, hingga bagaimana memahami terjemah serta tafsir Al-Qur’an. Bantuan penyebaran Al-Qur’an oleh Kementrian Agama merupakan upaya yang cukup baik dalam memberantas buta aksara Al-Qur’an, namun upaya ini masih dilakukan melalui passive learning Al-Qur’an. Sedangkan sebagian besar mereka yang tidak dapat membaca Al-Qur’an adalah mereka yang terbatas pendidikan, terbatas sosial ekonominya, serta terbatas syi’ar da’wah di tempat mereka tinggal. Banyak pula diantara mereka yang bahkan tidak mampu berbahasa Indonesia sepenuhnya.

Ulama-Ulama Ahli Qur'an


Al-Qur`an adalah mu’jizat yang diturunkan Allah atas Nabi Muhammad saw. yang bersama dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, semakin terbukti kebenarannya. Allah menurunkannya kepada manusia agar manusia bisa keluar dari kesesatan menuju cahaya petunjuk.

Para sahabat sangat antusias untuk mempelajari Al-Qur`an, menghafal dan memahaminya. Terkadang Rasulullah sas. menerangkan sebagian ayat-ayat kepada para sahabat. Selain mereka sangat antusias untuk mempelajari Al-Qur`an, menghafal dan memahaminya, mereka juga mengamalkan apa yang terkandung di dalam Al-Qur`an. Mereka tidak mau menambah hafalan mereka sebelum mereka memahaminya dan mengamalkan isinya.

Di awal-awal masa penurunan wahyu, Rasulullah saw. melarang para sahabat menulis apa yang beliau ucapkan kecuali ayat-ayat Al-Qur`an. Mengapa demikian? Karena beliau tidak ingin Al-Qur`an tercampur dengan yang lain. Tetapi pada akhirnya, beliau membolehkan penulisan hadits dan Al-Qur`an dinukil secara talqin, yaitu secara dikte turun temurun hingga masa Abu Bakar dan Umar.

Sampai pada masa Utsman bin Affan, Al-Qur`an dikumpulkan dalam satu mush-haf karena beberapa sebab. Mush-haf tersebut kemudian dinamakan dengan mush-haf imam. Penulisannya dinamakan rasm utsmani, dan inilah yang dianggap sebagai awal dari ilmu rasm utsmani.

Pada masa Ali, Abul Aswad Ad-Du`ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, harakat dll. Inilah yang kemudian dinamakan dengan ‘ilmu i’rabul Qur`an’.
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir diantaranya adalah:
1. 4 khulafa`ur Rasyidin
2. Ibnu Mas’ud
3. Ibnu ‘Abbas
4. Ubay bin Ka`ab
5. Zaid bin Tsabit
6.Abu Musa Al-Asy’ari
7. Abdullah bin Zubair
Ibnu Taimiyyah berkata: penduduk yang paling mengerti tentang tafsir adalah:
- AHLI MAKKAH (penduduk Mekah), karena mereka adalah para sahabatnya Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’ bin Rabah, ‘Ikrimah maula Ibni ‘Abbas, Thawus dll.
- AHLI KUFFAH, karena mereka di sana banyak sahabatnya Ibnu Mas’ud.
Yang diambil dari mereka adalah ilmu tafsir, ilmu gharibil qur`an, ilmu asbabun nuzul, ilmu makki dan madani, ilmu nasikh mansukh. Semua didapat dengan cara didekte.

Di abad kedua, dimulailah pembukuan hadits dengan bab-bab yang bermacam-macam. Di dalam sebagian bab ada yang membicarakan tentang tafsir Al-Qur`an.

Ulama yang terkenal sebagai ulama hadits misalnya:
1. Yazid bin Harun As-Sulami
2. Syu’bah bin Al-Hajjaj
3. Waki’ bin Al-Jarrah
4. Sufyan bin ‘Uyainah
5. Abdurrazzaq bin Hammam
. Mereka mengumpulkan hadits sesuai bab-babnya. Salah satunya adalah bab tafsir Al-Qur`an. Jejak mereka diikuti oleh ulama setelah mereka yaitu Ibnu Jarir Ath-Thabari.

Jadi tafsir itu pertama kali dimulai dengan penukilan dengan cara talaqqi dan periwayatan-periwayatan lalu dibukukan dalam bentuk bab-bab hadits, kemudian dibukukan secara tersendiri kemudian ada tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi.

Ada diantara ulama-ulama yang menyusun buku-buku untuk ilmu-ilmu Al-Qur`an, yaitu:
Ulama abad ketiga:
Ali Al-Madini menyusun kitab yang berjudul ‘ASBABUN NUZUL’
Abu ‘Ubaid Al-Qasim menyusun kitab yang berjudul ‘NASIKH WAL MANSUKH’ dan ‘QIRA`AT’.
Ibnu Qutaibah menyusun kitab yang berjudul ‘MUSYKILUL QUR`AN’.
Ulama abad keempat:
Muhammad bin Khalaf menyusun kitab yang berjudul ‘ULUMUL QUR`AN’.
Muhammad bin Qasim menyusun kitab yang berjudul ‘ULUMUL QUR`AN’
Abu Bakar As-Sijistani menyusun kitab yang berjudul ‘GHARIBUL QUR`AN’.
Lalu diikuti ulama sesudah mereka.
Jadi, ulumul qur`an mencakup pembahasan-pembahasan yang telah disebutkan di atas. Ulum adalah jamak dari ilmun. Arti ilm itu sendiri adalah kepahaman dan pengetahuan. Ulumul qur`an artinya ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan tentang Al-Qur`an mulai dari sebab nuzul, jam’ul qur`an dan penertibannya, makki dan madani, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih dan segala ilmu yang punya hubungan dengan Al-Qur`an.

Ilmu ulumul qur`an disebut juga dengan usuhulut tafsir karena ilmu tersebut mengandung banyak hal yang harus diketahui oleh mufassir untuk dijadikan sandaran dalam menafsirkan Al-Qur`an.

Mu'jizat al-Quran


I. I’Jaz dan Mukjizat Al-Qur’an

Akar kata I’jaz diambil dari mashdar dari kata ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang berarti Tidak berdaya atau ketidakmampuaan seseorang akan sesuatu. Sedangkan mukjizat berarti:
Kejadian atau peristiwa luar biasa (khoriq al-‘adah) yang disertai tantangan untuk menirunya), yang ada pada diri seseorang yang berasal dari Allah untuk menguatkan risalah yang diembannya. Sesuatu dapat dinilai sebagai mukjizat bila memiliki tiga aspek:

  • Tantangan, untuk mengungguli atau setidaknya menyamai kemampuan yang dimilkinya
  • Kepastian tidak adanya orang lain yang mampu mengungguli atau menyamainya
  • Kesempatan bagi orang lain untuk mengungguli atau menyamainya.


II. Bentuk Mukjizat
Mukjizat dibagi dua kategori:
Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kekuatan di luar nalar pada seorang nabi. Contohnya mukjizat laut yang dibelah oleh Nabi Musa, api menjadi dingin dalam kasus Nabi Ibrahim dan lainnya.

Mukjizat Rasional (’aqliyah)
Mukjizat ini berupa kemampuan intelektual yang rasional seperti Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad. Dan mukjizat ini akan terus belangsung hingga hari kiamat. Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugerahkan Allah kepadanya untuk memperkuat dakwahnya.

Perbandingan Mukjizat Al-Quran Dengan Kitab Sebelumnya
Mukjizat Nabi sebelumnya bersifat fisik (hissiyah), dan akan lenyap dengan berlalulnya waktu. Sedangkan Al-Quran adalah mukjizat yang terjaga, abadi dan berkelanjutan. Karenanya hingga hari ini masih banyak temuan-temuan tentang mukjizat Al-Quran.

Mukjizat Nabi-nabi sebelumnya hanya berkisar peristiwa yang bisa dilihat oleh panca indera semata. Sedangkan mukjizat Al-Quran mengarah pada keterbukaan hati dan akal. Sehingga pengaruhnya akan bertahan lama. Mukjizat Nabi sebelumnya di luar konteks dakwah dan mukjizat yang yang ada untuk mendukung atau pembuktiaan utusan Allah Swt. Contohnya menghidupkan orang mati, tongkat menjadi ular dan lainnya. Yang sebenarnya tidak berhubungan dengan materi kitab Taurat dan Injil. Sementara Al-Quran adalah mukjizat yang mendukung dakwah kenabian Muhammad Saw.

Aspek Mukjizat Al-Qur’an
Keindahan Bahasa dan Keindahan Redaksi Al-Qur’an ( I'jaz Lughowi). Meskipun bangsa Arab telah memiliki tata bahasa yang tinggi nilai keindahannya (balaghah), mereka pun dikenal sangat baik dalam menyampaikan penjelasan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.

Begitu pula ketinggian dalam bahasa dan sastra, karena sebab itulah Al-Quran menantang mereka agar bisa membuat satu ayat saja dari Al-Qur’an. Namun mereka tidak mampu melakukannya

Aspek Penunujukan Ilmiah ( I'jaz Ilmi)

  1. Stimulasi Al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan memikirkan kejadian di alam semesta.
  2. Al-Quran dalam mengemukakan argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, diantaranya:

A. Isyarat tentang Sejarah Tata Surya
Allah SWT berfirman: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30).

B. Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan Bunga
Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22)

C. Isyarat tentang Sidik Jari manusia
Allah SWT berfirman: “Bukan demikian, Sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS Al-Qiyamah 4)

Ramalan kejadian masa mendatang
Diantaranya ramalan kemenangan Romawi atas Persia di awal surat ar-Ruum.

Aspek Ketetapan Hukum ( I'jaz Tasyri'i)

Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun memang banyak aturan hukum dari Al-Quran yang secara 'kasat mata' terlihat tidak adil, kejam dan sebagainya, tetapi sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tidak terhingga.

Diantara produk hukum Al-Quran yang menakjubkan antara lain :
Hukuman Hudud bagi pelaku Zina, Pencurian, dsb (QS An-Nuur 2-3)
Hukuman Qishas bagi Pembunuhan ( QS Al-Baqoroh 178-180)
Hukum Waris yang detil (QS An- Nisa 11-12)
Hukum Transaksi Keuangan dan Perdagangan.(QS. Al-Baqarah: 282
Hukum Perang & Perdamaian. (QS Al-Anfal 61) Dan lainnya

Keterangan Tambahan
Ada beberapa istilah namun berbeda dalam peranannya yaitu:
Mukjizat: adalah peristiwa luar biasa (Khawariq 'Adah) yang terjadi atau terdapat pada seorang Nabi. Dan orang biasa lainnya tidak mampu melakukannya. Dan mukjizat ini hanya diperuntukan bagi Nabi sebagai tanda atau kegimitasi kenabian

Karomah: adalah sebuah peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri seseorang yang dekat kepada Allah, seperti para Wali, para ulama. Karomah ini adalah sebagai bukti bantuan Allah bagi seseorang yang berdakwah di jalan Allah. Namun biasanya karomah ini tidak dirasakan oleh orang itu. Namun peristiwa luar biasa ini bukan sesuatu yang harus dikultuskan namun hanya sekedar pemberitahuan bahwa ia memang orang yang dikasihi Allah. Dan karomah ini bukan sesuatu yang dicari dengan sengaja oleh yang bersangkuitan (Bil Kasb)

Ma'unah; Yaitu orang yang diberi kemampuan di atas rata-rata, dan orang ini bisa jadi bukan seorang wali atau ulama. Namun seorang hamba yang taat beribadah. Baik kemampuan ini diperoleh dengan mencari misalnya sering berpuasa atau lainnya ataupun datang dengan sendirinya (bighori Kasb)

Istidraj (tipu daya Syetan): Adalah kemampuan seseorang di batas kewajaran dan orang ini bukan termasuk ulama, orang soleh. Malah dia seorang pendurhaka ataupun bukan orang soleh. Artinya bahwa yang dimilkinya berasal dari setan dan pastinya akan menyesatkan manusia. Hati-hatilah: Dengan Demikian ketika seseorang memilki dimensi Supernatural jangan dianggap hebat dulu. 
Karena hal itu bisa didapat dengan susah payah ataupun datang dengan tiba-tiba. Kecuali mukjizat ataupun karomah. Dengan mempercayai seseorang yang tidak dalam kategori Soleh atau taat maka ia terjerumus dalam kesesatan dan kemusyrikan, meskipun apa yang dilihat, disaksikan benar semua. Maka berhati-hatilah kemusyrikan ada dimana-mana.

Pengumpulan Quran pada masa Utsman bin Affan

Keharusan Pencatatan Al-Qur’an di Era Ustman
Setelah Abu bakar wafat, kemudian pemerintahan diteruskan oleh Umar bin Khattab, yang memerintah selama 10 tahun. Wilayah kekuasaan Islam dibawah pimpinan Umar bin Khattab semakin luas, termasuk daerah non Arab.

Khalifah Umar wafat pada tahun 23 hijri, kemudian digantikan oleh Ustman sebagai penganti Umar bin Khattab dan tercatat sebagai khalifah ke 3 setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Meluasnya Daerah Kekuasaan Islam
Dalam masa pemerintahan Ustman bin Affan, terdapat beberapa masalah pelik yang harus segera dituntaskan, termasuk diantaranya pencatatan ulang Al-Qur’an untuk kedua kalinya.

Meluasnya wilayah di bawah pimpinan Khlaifah Umar sebelumnya memberi peluang kepada para sahabat untuk berbondong-bondong mendatangi daerah penaklukan untuk memgajarkan Islam dan membaca Al-Qur’an. Ataupun banyak diutus seorang pengajar ke daerah baru di wilayah Islam baik ketika di bawah pimpinan Khalifah Umar maupun di bawah pemerintahan Ustman bin Affan.

Ada akibat lain yang ditimbulkan dari pengajaran baik oleh sebagian sahabat maupun pengajar lainnya, yaitu berbedanya cara membaca Qur’an ( Qira’ah; Al-Qur’an memiliki ragam membacanya yang disebut dengan Qira’ah Sab;ah, Qira’ah tujuh. Pen. ada pembahasan tersendiri). Sehingga pada akhirnya ejekan itu semakin meruncing dan tidak jarang saling meng-kafirkan satu sama lainnya.Akibatnya sering terjadi perselihan antara murid seseorang dengan murid lainnya karena masing-masing berbeda dalam membaca Al-Qur’an.

Sebenarnya para sahabat sendiri yang melihat langsung Nabi baik cara membacanya maupun meyaksikan twahyu, sudah biasa dan mengerti bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh macam qira’ah) dan mereka menegerti bahwa semuanya bersumber dari ajaran Nabi sendiri, Sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai keragaman bacaan Qur’an ini.

Namun ketika meluasnya daerah Islam, diantaranya ditataklukannya Armenis dan Azerbijan (Asia Tengah), dan mulainya bangsa Ajam (non Arab) memeluk Islam. Timbulah masalah baru, bahwa mereka adalah generasi yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Dan ketika mereka belajar Qur’an mereka menganggap bahwa bacaan Qur’an itu hanya satu. Akibatnya ketika mereka menemui bacaan berbeda selain dari yang mereka pelajari, timbulah perbedaan pendapat. Karena masing-masing pihak menganggap bahwa bacaanya lah yang paling benar. Tidak jarang mereka saling mengkafirkan dan tidak sedikit berujung pada pertengkaran.

Keprihatinan Para Sahabat

Hudzaifah Bin Yaman salah seorang sahabat yang ikut menaklukan Armenia dan Azaerbijan sangat perihatin melihat pertengkaran disebabkan adanya perbedaan membaca Qur’an. Keprihatinannya ini timbul setelah inpeksi mendadak ke dua daerah ini. Bukan hanya ia yang merasa miris melihat fenomena ini, bahkan sahabat lainnya sangat sedih. Dimana antara sahabat dengan sahabat lainnya, yang nota bene murid-murid Rasulullah, sangat menghormati perbedaan pendapat. Namun demikian perbedaan pendapat ini tidak pernah membuat mereka saling bermusuhan apalagi saling mengkafirkan.

Setelah melihat kenyataan di lapangan bahwa banyak terjadi pertikaian disebabkan masalah sepele, yaitu perbedaan bacaan Qur’an, Hudzaifah langsung menghadap khalifah untuk segera melapor apa yang menjadi temuannya di lapangan.

Setelah adanya musyawarah antara khalifah dan sahabat lainnya, maka sang khalifah mengeluarkan keputusan Khalifah, bahwa keharusan penyalinan ulang lembaran-lembaran yang sudah ada, yaitu Mushaf Abu Bakar dengan menyempurnakan bacaan pada satu huruf saja (satu qira’ah saja).

Dengan demikian mulailah pencatatan Al-Qur’an untuk kedua kalinya di era pemerintahan Utsman bin Affan.

Pembentukan Komite

Keputusan khalifah Utsman disepakati oleh para sahabat, yang inti kesepakatan ini adalah membukukan mushaf baru dari contoh mushaf yang ada, kemudian tulisan (khat/rasm) ini mencakup tujuh bacaan Qur’an namun penulisannya hanya menggunakan satu bentuk bacaan saja. Mushaf ini tidak saja dibukukan dalam satu buku, namun beberapa buah yang akan disebar ke setiap daerah untuk menseragamkan bacaan. Mushaf ini kemudian dikenal dengan nama Mushaf Imam.

Dibentuklah sebuah tim beranggotakan 12 orang yang berasal dari dua golongan, yaitu dari kalangan Quraisy, yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan dari kalangan Anshar, yaitu Ubay bin Ka’ab.

Dalam satu riwayat hanya terdapat 9 nama dalam tim yang berjumlah 12 orang yaitu:

1. Zaid bin Tsabit
2. Abdullah ibn Zubair
3. Sa’id ibn Ash
4. Abdurahman ibn Harits ibn Hisyam
5. Ubay ibn Ka’ab
6. Anas ibn Malik
7. Abdullah Ibn Abbas
8. Malik Ibn Abi ‘Amir
9. Katsir Ibn Aflah

Metode Dalam Pembukuan Al-Qur’an 
Ada beberapa metode yang ditempuh dalam pembukuan Al-Qur’an oleh Ustman bin Affan, yaitu: Berpegang teguh pada mushaf Qur’an yang sudah ada, yaitu Mushaf Abu Bakar yang tersimpan di Hafsah, puteri Umar bin Khattab. Pedoman Ustman ini sangat beralasan karena tulisan dalam Mushaf Abu Bakar berasal dari catatan sahabat yang ditulis ketika Rasulullah masih hidup begitu pula berasal dari hafalan para sahabat. Dengan demikian jelas sekali bahwa mushaf Utsman nantinya sama seperti yang terdapat dalam mushaf Abu Bakar dan begitu pula mushaf Abu Bakar sama seperti yang tertulis dalam mushaf Ustman. Pedoman ini tidak memungkinkan adanya anggapan bahwa mushaf Ustman itu akan berbeda seperti yang terdapat dalam mushaf Abu Bakar.

Pembukuan Al-Qur’an ini adalah proyek Negara karena perintah langsung khalifah. Anggota tim nya pun melibatkan kalangan Qurasiy dan Anshar yang berjumlah 12 orang yang diangkat langsung oleh khalifah. Berbeda dengan pencatatan Qur’an di era Abu Bakar yang merupakan perintah pribadi dan bukan proyek Negara meskipun dalam pencatatanya sangat ketat dan teliti

Utsman pun memerintahkan agar orang-orang yang mempunyai catatan Qur’an, hafalan atau apa saja yang memudahkan proses pencatatan Qur’an ini agar segera diserahkan kepada tim untuk diproses dan di teliti. Ketika ada perbedaan dalam dialek, maka diharuskan menggunakan dialek Quraisy.

Tidak ditulis ayat-ayat yang telah dihapus bacaannya (mansukh), qira’ah yang berasal dari riwayat Ahad, footnote yang tertulis di beberapa catatan Qur’an milik Sahabat dan lain sebagainnya.

Mushaf ini harus mencakup semua bacaan (qira'ah) Al-Qur'an dengan cara sebagai berikut:

Ketika menuliskan satu huruf yang bisa dibaca beberapa qira'ah yang mutawatir, maka huruf ini hanya ditulis satu macam saja. Seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 259 yang berbunyi:
KAIFA NUNGSYIZUHA...
Huruf ZI..oleh Abu Ja'far, Nafi', Ibnu Katsir, Abu :amir dan Ya'qub dibaca.. NUNGSYIRUHA.. dengan huruf RO..