Surat Al-Maidah 51-53

Berhubung arus informasi yang sedang bergejolak tentang surat al-maidah. kiranya tafsir ayat ini dimajukan di awal. silahkan baca baik-baik dengan seksama.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S Almaidah 51)

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.

Riwayat yang berkaitan
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Muhammad (Yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Iyad, bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al Asyari untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar r.a. Maka Khalifah Umar merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai jinabah?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, "Pecatlah dia." Selanjutnya Khalifah Umar membacakan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah mencerita­kan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Atabah pernah berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian memelihara dirinya, jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, sedangkan dia tidak menyadarinya." Menurut Muhammad ibnu Sirin, yang dimaksud olehnya menurut dugaan kami adalah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah : 51), hingga akhir ayat.

telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Asim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Maka ia menjawab, "Boleh dimakan." Allah Swt. hanya berfirman: Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51) Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abuz Zanad

Maka kami akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana, " Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (Q.S. Al-Maidah 52)
di ayat 52 Allah Menyatakan : kami mengetahui bahwa orang-orang munafik akan segera mendekati orang yahudi dan nasrani dan berteman akrab dengan mereka sambil mengatakan "kami takut akan mendapat bencana". Yakni mereka melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan terjadi suatu perubahan, yaitu orang-orang kafir beroleh kemenangan atas kaum muslim. Jika hal ini terjadi, berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, meng­ingat orang-orang Yahudi dan Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri di kalangan orang-orang kafir, sehingga sikap berteman akrab dengan mereka dapat memberikan manfaat ini. kemudian dijawab di kalimat berikutnya Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kalian?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 53)
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menye­butkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal."Sedangkan yang lainnya menyatakan, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya." Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.

Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah Saw. mengutusnya kepada Bani Quraizah, lalu mereka bertanya kepadanya, "Apakah yang akan dilakukan olehnya terhadap kami?" Maka Abu Lubabah mengisya­ratkan dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya bahwa Nabi Saw. akan menyembelih mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang lain. ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, seperti apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Jarir: bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Atiyyah ibnu Sa'd, bahwa Ubadah ibnus Samit dari Banil Haris ibnul Khazraj datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai teman-teman setia dari kalangan orang-orang Yahudi yang jumlah mereka cukup banyak. Dan sesungguhnya saya sekarang menyatakan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari mengambil orang-orang Yahudi sebagai teman setia saya, dan sekarang saya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya." Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Sesungguhnya aku adalah seseorang yang takut akan mendapat bencana. Karenanya aku tidak mau berlepas diri dari mereka yang telah menjadi teman-teman setiaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah ibnu Ubay, "Hai Abul Hubab, apa yang engkau pikirkan, yaitu tidak mau melepaskan diri dari berteman setia dengan orang-orang Yahudi, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Ubadah ibnus Samit. Maka hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk Ubadah." Abdullah ibnu Ubay berkata, "Saya terima." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga dua ayat berikutnya.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ketika kaum musyrik mengalami kekalahan dalam Perang Badar, kaum muslim berkata kepada teman-teman mereka yang dari kalangan orang-orang Yahudi, "Masuk Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian suatu bencana seperti yang terjadi dalam Perang Badar." Malik ibnus Saif berkata, "Kalian telah teperdaya dengan kemenangan kalian atas segolongan orang-orang Quraisy yang tidak mempunyai pengalaman dalam peperangan. Jika kami bertekad menghimpun kekuatan untuk menyerang kalian, maka kalian tidak akan berdaya untuk memerangi kami." Maka Ubadah ibnus Samit berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya teman-teman sejawatku dari kalangan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang berjiwa keras, banyak memiliki senjata, dan kekuatan mereka cukup tangguh. Sesungguhnya aku sekarang berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan orang-orang Yahudi. Sekarang bagiku tidak ada pemimpin lagi kecuali Allah dan Rasul-Nya." Tetapi Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tetapi aku tidak mau berlepas diri dari berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya aku adalah orang yang bergantung kepada mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abul Hubab, bagaimanakah jika apa yang kamu sayangkan, yaitu berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi terhadap Ubadah ibnus Samit, hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk dia?" Abdullah ibnu Ubay menjawab, "Kalau begitu, aku bersedia menerima­nya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah: 67)

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Asim ibnu Umar ibnu Qatadah yang mengatakan bahwa lalu Rasulullah Saw. mengepung mereka hingga mereka menyerah dan mau tunduk di bawah hukumnya. Lalu bangkitlah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul kepada Rasulullah, setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya atas mereka. Kemudian Abdullah Ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku itu dengan baik, karena mereka adalah teman-teman sepakta orang-orang Khazraj." Rasulullah Saw. tidak melayaninya, dan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata lagi, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku ini dengan baik. Tetapi Rasulullah Saw. tidak mempedulikannya. Kemudian Abdullah ibnu Ubay memasukkan tangannya ke dalam kantong baju jubah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bersabda kepadanya.”Lepaskanlah aku!" Bahkan Rasulullah Saw. marah sehingga kelihatan roman muka beliau memerah, kemudian bersabda lagi, "Celakalah kamu, lepaskan aku. Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tidak, demi Allah, sebelum engkau bersedia akan memperlakukan teman-teman sejawatku dengan perlakuan yang baik. Mereka terdiri atas empat ratus orang yang tidak memakai baju besi dan tiga ratus orang memakai baju besi, dahulu mereka membelaku dari ancaman orang-orang yang berkulit merah dan berkulit hitam yang selalu mengancamku, sesungguhnya aku adalah orang yang takut akan tertimpa bencana." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Mereka kuserahkan kepadamu."

Muhammad ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq ibnu Yasar, dari Ubadah ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa ketika Bani Qainuqa' memerangi Rasulullah Saw., Abdullah ibnu Ubay berpihak dan membela mereka, sedangkan Ubadah ibnus Samit berpihak kepada Rasulullah Saw. Dia adalah salah seorang dari kalangan Bani Auf ibnul Khazraj yang juga merupakan teman sepakta Bani Qainuqa', sama dengan Abdullah ibnu Ubay. Ubadah ibnus Samit menyerahkan perkara mereka kepada Rasulullah Saw. dan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mereka. Lalu ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, saya berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mere­ka; dan sekarang saya berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin; saya pun menyatakan lepas dari perjanjian saya dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka." Berkenaan dengan dia dan Abdullah ibnu Ubay ayat-ayat ini diturunkan,- yaitu firman Allah Swt. yang ada di dalam surat Al-Maidah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bersama dengan Rasulullah Saw. menjenguk Abdullah ibnu Ubay yang sedang sakit. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Aku pernah melarangmu jangan berteman dengan orang-orang Yahudi. Tetapi Abdullah ibnu Ubay menjawab, "As'ad ibnu Zararah pernah membenci mereka, dan ternyata dia mati."
demikian

Al-Fatihah




Surat ini dinamakan al-FAtihah - Yakni Fatihatul Kitab- hanya secara tulisan. dengan surat ini bacaan dalam shalat dimulai. Surat ini disebut Juga Ummul Kitab. menurut mayoritas ulama seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan dan Ibnu Sirin, karena ketiganya tidak suka menyebutnya dengan istilah fatihatul kitab.

AL-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan, "sesungguhnya Ummul kitab itu adalah Lauh MAhfudz". AL-HAsan mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ummul kitab. karena itu keduanya pun tidak suka menyebut surat Al-FAtihah dengan istilah Ummul Qur'an.

Didalam sebuah hadis shahih diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan dinilai sarih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa rasulullah SAW bersabda: "Alhamdulillahirabbil 'Alamiina adalah Ummul Quran, Ummul Kitab, Sab'ul Matsaani dan AlQura'anul 'adhiim" Surat al-Fatihah dinamakan pula alhamdu, juga disebut ash-Sholat karena berdasarkan sabda RAsulullah bahwa Allah berfirman: Aku bagikan shalat antara aku dan hambaku menjadi dua bagian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdulillahi rabbil 'alamiin" Allah berfirman, "Hambaku Telah memujiKu".

Surat Al-FAtihah disebut pula Shalat, karena ia merupakan syarat didalam shalat. Surat Fatihah dinamakan pula syifa seperti yang disebutkan dalam riwayat ad-DArami melalui Abu Said secara marfu', yaitu: FAtihatul kitab (surat al-FAtihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun

Surat FAtihah dikenal pula dengan nama Ruqyah, seperti yang disebutkan dalam hadis Abu SAid yang shahih, yaitu disaat dia membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat yang tersengat kalajengking. Sesudah itu Rasulullah SAW bersabda kepada Abu SAid al-Khudri: Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat fatihah itu adalah ruqyah Asy-Sya'bi meriwayatkan sebuah atsar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakan alfatihah Asasul Quran (fondasi al-Quran). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahirrahmaanirrahim. sufyan bin uyainah menamakannya al-waqiyah, sedangkan yahya ibnu kasir menamakannya alkafiyah, karena surat alfatihah sudah mencukupi tanpa selainnya. tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi bila tanpa surat alfatihah. seperti yang disebutkan dalam salah satu hadis berpredikat mursal: ummul quran merupakan pengganti yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.

Surat ini dinamakan juga surat as-shalah dan al KAnz. kedua nama ini disebutkan oleh az-Zamakhsyari di dalam kita kasysyaf. menurut ibnu abbas, Qatadah dan Abul Aliyah, surat alfatihah adalah makiyyah. menurut pendapat lain madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahi, Ata ibnu yasar, dan Az-Zuhri. pendapat lainnya lagi mengatakan, surat alfatihah diturunkan sebanyak dua kali, pertama dimekah dan kedua di madinah. tetapi pendapat pertama lebih dekat kepada kepada kebenaran. karena firmanNya menyebutkan: dan sesungguhnya kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang


Abu Lais as-samarqandi meriwayatkan bahwa sebagian dari surat fatihah diturunkan dimekah sedangkan sebagian di madinah. Akan tetapi pendapat ini sangat aneh dinukil oleh al-Qurtubi darinya. Surat al-FAtihah terdiri atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi amr ibnu Ubaid mengatakan delapan ayat. kedua pendapat ini menyendiri. mereka berselisish pendapat mengenai basmalahnya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra kufah dan segolongan orang dari sahabat dan para tabi'in serta ulama khalaf, ataukah merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan alfatihah. seperti yang dikatakanoleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli fiqihnya. kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat. 

Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam surat fatihah semuanya da 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113 huruf. imam bukhari dalam permulaan kitab tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan ummul kitab karena penulisan dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam shalat dimulai dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan ummul kitab karena semua makna yang terkandung didalam alquran merujuk kepada yang terkandung di dalamnya.

TAHAP TURUNNYA AL-QUR'AN

Adapun tahap tahap turunya al-qur’an ada 3 tahap, yaitu :
1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22. Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.

Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi.

Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.

2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).

Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.

3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu)
Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut: Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).

Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).

Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap[2]:
  1. Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah (langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar).
  2. Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati Rasulullah saw. Secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril as



Proses Turunnya Al-Quran

Dalam proses pewahyuannya terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya:
Pertama: Turunnya wahyu kepada beliau seperti suara lonceng (kesamaan dalam kerasnya suara-ed), dan cara ini adalah cara yang paling berat bagi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya al-Harits bin Hisyamradhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu turun kepada anda?” Maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam menjawab: ”Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itu adalah yang paling berat bagiku. Kemudian ia terhenti sedangkan aku sudah memahami apa yang Jibril katakan.”
’Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
”Dan sungguh aku telah melihat wahyu itu turun kepada beliau (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu terhenti sementara keringat telah mengalir di dahi beliau.”

Kedua: Dan terkadang wahyu turun dalam bentuk seorang laki-laki yang menyampaikan Kalamullah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana hadits yang lalu dalam shahih al-Bukhari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah ditanya tentang tata cara turun wahyu, maka beliau menjawab: ”Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku dan kemudian aku memahami apa yang dia katakan.” Karena sesungguhnya Malaikat telah menjelma menjadi sosok lelaki dalam bentuk yang beraneka macam, dan tidak ada yang terluput darinya apa yang dibawa oleh Malaikat pembawa wahyu tersebut. Sebagaimana dalam kisah datangnya Malaikat dalam rupa Dihyah al-Kalbi, atau seorang Arab badui dan dalam bentuk yang lainnya. Dan semuanya tercatat dalam kitab Shahih.

Ketiga: Dan terkadang wahyu turun dengan cara Allah berbicara langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur), sebagaimana dalam hadits Isra’ Mi’raj yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukahari, dan di dalamnya disebutkan:
”Ketika aku lewat, ada penyeru yang berkata:”Aku telah berlakukan kewajibanku dan telah aku ringankan atas hamba-hambaku.” Hal yang paling penting dalam pembahasan ini yang wajib diyakini dan diimani adalah bahwa Jibril 'alaihissalam turun membawa al-Qur’an dengan lafazh al-Qur’an dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Naas, dan bahwa lafazh-lafazh tersebut adalah Kalamullah (firman Allah), tidak ada campurtangan Jibril 'alaihissalam, dan juga tidak ada campurtangan Nabishallallahu 'alaihi wasallam dalam pembuatan dan penyusunannya, akan tetapi semuanya adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: ” (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Mahatahu.” (QS. Hud: 1)
Maka semua lafazh al-Qur’an baik yang tertulis maupun yang dibaca semuanya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan peran Jibril 'alaihissalam tidak lain hanyalah sebagai pembawa wahyu saja kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak pula peran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melainkan hanyalah memahami, menghafal dan menyampaikannya saja. Kemudian menjelaskan dan mengamalkannya. AllahSubhanahu wa Ta'ala berfirman:
” Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’araa’: 192-194)
Maka yang berbicara adalah Allah, yang membawa (menyampaikan) adalah Jibril'alaihissalam dan yang menerima adalah Rasul Rabb semesta alam.

Hafal 30 Juz al-Quran, Anak Indonesia ini Buat Ulama Mesir Menangis

Tags

Musa La Ode Abu Hanafi, hafiz cilik yang masih berusia 7 tahun tersebut baru saja mengukir sebuah prestasi yang membanggakan untuk Indonesia. Seperti dilansir dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, Kemlu.go.id, Minggu (17/4/2016), Musa mengikuti Musabaqah Hifzil Quran (MHQ) International di Sharm El-Sheikh Mesir pada 10-14 April 2016.

Saat itu Musa yang mendapatkan juara tiga berhasil mengalahkan 80 peserta lainnya yang berasal dari 60 negara, sebut saja Mesir, Sudan, Arab Saudi, Kuwait, Maroko, Chad, Aljazair, Mauritania, Yaman, Bahrain, Nigeria, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Australia, dan Ukraina. Musa merupakan peserta paling kecil di antara peserta lomba, namun kemampuan Musa dalam menghafal Alquran memang sudah tidak diragukan lagi.

Musa lebih dikenal dengan Musa Hafizh cilik (lahir di Bangka, 2008; umur 8 tahun) merupakan seorang penghafal Alquran (hafizh) dari Indonesia. Selain menghafal Alquran ia juga menghafalkan matan-matan hadis penting, seperti Arbain Nawawi dan lainnya. Namanya terkenal ke khalayak ramai baik di dalam negeri maupun di Malaysia dan Singapura setelah mengikuti dan meraih juara pertama pada program Hafiz Indonesia 2014 di RCTI. Ia menjadi pusat perhatian karena meski kala itu berusia sangat muda yakni 5,5 tahun namun telah mampu menghafalkan 29 Juz dari total 30 Juz Alquran. Iapun dikirim untuk mengikuti perlombaan hafalan Alquran tingkat Internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi yang termuda dalam ajang tersebut dan menduduki peringkat ke-12 dari 25 peserta yang ikut bertanding. Musa mendapatkan nilai Mumtaz yakni 90,83 poin dari 100 nilai sempurna. Pasca perlombaan Musa berhasil menuntaskan hafalannya menjadi keseluruhan 30 juz Alquran, hal ini dapat terlaksana karena sebelum mengikuti acara sebenarnya ia hanya kurang dua surah saja. Pada bulan Agustus 2016, Musa memperoleh piagam penghargaan tingkat nasional dari MURI sebagai Hafiz Al-Quran 30 Juz termuda di Indonesia.

Menteri Wakaf Mesir Prof DR Mohamed Mochtar Gomaa menyampaikan takjubnya kepada Musa yang berusia paling kecil dan tidak bisa berbahasa Arab, tapi menghafal Alquran dengan sempurna. Musa mengikuti lomba cabang Hifz Alquran 30 juz untuk golongan anak-anak. Ia menjadi daya tarik tersendiri dalam perlombaan tersebut lantaran merupakan peserta paling kecil di antara seluruh peserta lomba. Peserta lainnya berusia di atas 10 tahun.

Jawa Pos (Radar Cirebon Group) pernah menurunkan tulisan soal musa. Tingkah Musa memang tidak berbeda dengan layaknya anak seusianya. Suka bermanja-manja dan kadang-kadang rewel. Sepintas orang tak akan menyangka dia menghafal 30 juz Alquran. Minat Musa terhadap Alquran sudah tampak sejak dirinya belum genap berusia dua tahun. ”Setiap kali saya perdengarkan kaset murottal (pembacaan) Alquran anak, dia senang dan sangat antusias menirukan,” ungkap La Ode Abu Hanafi, ayah Musa. Melihat kondisi tersebut, Hanafi pun makin sering memperdengarkan kaset murottal kepada Musa.

Tidak lama setelah ulang tahun kedua Musa, Hanafi memulai bimbingan Alquran untuk anaknya itu. Karena Musa belum bisa membaca Alquran, Hanafi membimbingnya dengan metode talqin atau membacakan hafalan. Musa diminta menirukan pelafalan sang ayah. Mengingat usia sang anak, Hanafi mengajarinya dengan perlahan. Satu sesi belajar hanya berlangsung lima sampai sepuluh menit.

Bukan hal mudah mengajarkan Alquran kepada bocah yang ketika itu berusia dua tahun. Proses Musa untuk menjadi hafiz, beber Hanafi, tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Bagian pertama yang diajarkan kepada Musa adalah surat terakhir Alquran, yakni An Naas. ”Saya ajarkan qul saja, butuh dua sampai tiga hari dia ikuti,” kenangnya. Kemudian, menyambungkan kata qul dengan a’udzu juga butuh waktu. Durasi Musa untuk menghafal Qul a’udzu birobbinnaas (ayat pertama surat An Naas yang berarti Katakanlah, aku berlindung dari Tuhan manusia) butuh setidaknya satu pekan.

Kemudian, saat berhasil menghafal ayat kedua, Musa lupa bagaimana bunyi ayat pertamanya sehingga hafalan harus diulang dari awal. ”Jadi, surat An Naas itu mungkin bisa ratusan kali diulang sama saya,” ungkapnya. Metode talqin tersebut hanya dilakukan selama dua tahun dan menghasilkan hafalan dua juz ”saja”, yakni juz 30 dan 29. Hanafi mengajari Musa menghafal dari belakang, yakni dari juz 30 hingga 18. Kemudian, dia melanjutkan pelajaran menghafal dari juz 1.

Di usianya yang keempat tahun, Musa sudah bisa membaca Alquran sehingga proses hafalan menjadi lebih ringan daripada sebelumnya. Karena sudah bisa membaca Alquran, Musa mulai bisa belajar mandiri. Setiap hari Musa mampu menghafal 2,5 sampai 5 halaman Alquran dan diperdengarkan di depan Hanafi.

Dalam bimbingan Hanafi, Musa bisa menghabiskan waktu enam sampai delapan jam untuk menghafal Alquran. Hanafi memang seorang guru mengaji. Hanafi juga menghidupi keluarganya lewat kebun karet miliknya dan usaha dagangnya. Lazimnya seorang bocah, waktu bermain juga menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Untuk itu, setiap empat hari Hanafi meliburkan pelajaran menghafal Alquran dan memberi Musa kesempatan bermain seharian.

“Musa main mobil, kereta, sama bola sampai kotor,” ucap Musa saat ditanya mainan kesukaannya sembari bergelayut manja di pangkuan sang ayah. Sempat pula Musa menangis karena lelah. Namun, setelah diberi mainan, tangisnya mereda. Hanafi menuturkan, putranya bisa jadi apa saja suatu saat kelak. Bisa dokter, ulama, tentara, atau profesi lainnya. Namun, Hanafi memang punya target agar Musa menjadi hafiz dahulu. “Agar dia bisa bermanfaat untuk (agama) Islam dan umat Islam,” tutur suami Yulianti itu.

Musa tampak tidak terbebani gelar hafiz yang disematkan kepada dirinya. Sebagaimana layaknya bocah, dia sangat senang manakala disodori mainan. Musa juga sudah punya cita-cita yang ingin diraihnya. “Ingin jadi pilot,” ucap Musa lugas. Hanafi mengakui bahwa dirinya dan istrinya bukanlah hafiz. Dia juga awalnya tidak yakin anaknya mampu. Namun, setelah merenung, dia dan sang istri memantapkan niat untuk menjadikan Musa seorang hafiz.

Lingkup Pembahasan Ilmu-Ilmu al-Qur'an

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ‘ULUMUL AL-QUR’AN

Berkenan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok berikut ini :

A. Persoalan Turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
- Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an
- Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
- Sejarah turunnya Al-Qur’an

B. Persoalan Sanad (Rangkaian para Periwayat)
- Riwayat mutawatir
- Riwayat ahad
- Riwayat syadz
- Macam-macam qira’at Nabi
- Para perawi dan penghafal Al-Qur’an
- Cara-cara penyebaran riwayat

C. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)
- Cara berhenti (waqaf)
- Cara memulai (ibtida’)
- Imalah
- Bacaan yang dipanjangkan (madd)
- Meringankan bacaan hamzah
- Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepasa bunyi sesudahnya (idgam)

D. Persoalan Kata-kata Al-Qur’ an
- Kata-kata Al-Qur’an yang asing (gharib)
- Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-rubah harakat akhirnya (mu’rab)
- Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa (hononim)
- Padanan kata-kata Al-Qur’an (sinonim)
- Isti’arah
- Penyerupaan (tasybih)

E. Persoalan Makna-Makna Al-Qur’an yang Berkaitan Dengan Hukum
- Makna umum yang tetap pada keumumannya
- Makna umum yang dimaksudkan makna khusus
- Makna umum yang maknanya dikhususkkan sunnah
- Nash
- Makna lahir
- Makna global
- Makna yang diperinci
- Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan
- Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan
- Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya
- Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri
- Ayat yang “menghapus” dan “dihapus” (nasikh-mansukh)
- Yang didahulukan (muqaddam)
- Yang diakhirkan (mu’akhakhar)

F. Persoalan Makna Al-Qur’an yang Berpautan Dengan kata-kata Al-Qur’an
- Berpisah
- Bersambung
- Uraian singkat
- Uraian seimbang
- Pendek

Cabang – Cabang (Pokok Bahasan) ‘Ulumul Al-Qur’an

a. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat, masanya, awalnya, dan akhirnya.

b. Ilmu tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari permulaan sampai akhirnya serta urutan turun surah dengan sempurna.

c. Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.

d. Ilmu Qiraat
Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Al-Qur’an yang telah diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh Qiraat yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah.

e. Ilmu Tajwid Ilmu ini menerangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik. Ilmu ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan panjang dan pendek, dan sebagainya.

f. Ilmu Gharib Al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi.

g. Ilmu I’rab Al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Al-Qur’an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.

h. Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata Al-Qur’an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu.

i. Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutasyabihat (samar maknanya, perlu ditakwil).

j. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian mufassir.

k. Ilmu Badai’ Al-Qur’an
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Al-Qur’an dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.

l. Ilmu I’jaz Al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat membungkam para sastrawan Arab.

m. Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang didepan dan yang dibelakangnya.

n. Ilmu Aqsam Al-Qur’an Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

o. Ilmu Amtsal Al-Qur’an Ilmu ini menerangkan maskud perumpamaan-perumpamaan yang dikemukan Al-Qur’an.

p. Ilmu Jidal Al-Qur’an
Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan Al-Qur’an yang dihadapkan kepada kamu Musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan.

q. Ilmu Adab Tilawah Al-Qur’an Ilmu ini memaparkan tata-cara dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca Al-Qur’an. Mudah Mudahan Diberikan kesempatan Untuk membahas masing masing dari lingkup bahasan ilmu tersebut. Insya Allah

Asbabun Nuzul; Definisi dan Contoh


Dalam memahami al-quran kita harus mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat al-Quran. Dalam pembahasan sebelum nya bisa di baca di pembahasan cara-cara al-Quran di wahyukan.
di mana disitu dijelaskan bahwa Qur’an ternyata tidak diturunkan langsung berupa buku paket yang sudah terjilid dengan cover lengkap sebagaimana kita lihat sekarang, tetapi di turunkan ayat per ayat sesuai dengan kondisi, situasi dan keadaan lingkungan saat ayat al Quran turun. Tahapan berikutnya untuk memahami makna ayat-ayat Qur’an adalah, kita harus mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi turunya ayat Al-Qur’an. Materi ini disebut Asbab al-Nuzul.

Asbab al-Nuzul merupakan ilmu pengetahuan sistematis sehingga beberapa ulama Al-Quran memberikan definisi terkait pengertian Asbab al-Nuzul.
1.Menurut Subhi Shalih, ababun nuzul ialah : “Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”

2. Menurut Az-Zarqani: “Asbabun Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”

3. As-Shabuni “Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.

Kendati redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa yang disebut asbabun nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.

Contoh Asbab Nuzul surat Albaqarah ayat 158. “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 158)

Lafal ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan “kebolehan” dan bukannya “kewajiban”. Sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu*. ‘Aisyah telah menolak pemahaman ‘Urwah Ibnu Jubair seperti itu dengan sebab nuzul ayat tersebut, yaitu bahwa para sahabat merasa keberatan bersa’i antara Safa dan Marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Di Safa terdapat “Isaf” dan di Marwa terdapat “Na’ilah”. Keduanya adalah berhala yang biasa diusap orang jahiliyah ketika mengerjakan sa’i.

diriwayatkan dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa ‘Urwah berkata kepadanya: “Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah: ‘Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.?’ Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila tidak melakukan sa’i itu.” ‘Aisyah menjawab: “Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudaraku. Sekiranya maksud ayat itu seperti yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi: ‘tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa’i.’ Tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam mendatangi ‘Manat’ yang zalim itu dan menyembahnya. Orang yang dulu menyembahnya tentu keberatan untuk bersa’i di antara Safa dan Marwa.

Maka Allah menurunkan: “Sesungguhnya Safa dan Marwa…”, kata ‘Aisyah: “Selain itu, Rasulullah pun telah menjelaskan sa’i di antara keduanya. Maka tak seorangpun dapat meninggalkan sa’i di antara keduanya.”

Contohnya lainnya sebagaimana diriwayatkan oleh Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ath-Tharbani, dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebut kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah Menurunkan QS. Ali-Imran :195 untuk menjawabnya.”
Begitu pula dengan hadist yag diriwayatkan Ahmad, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, ia berkata : “Aku telah bertanya, Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah Menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisaa’ : 32)

Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa Asbab al-Nuzul merupakan peristiwa atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu atau beberapa ayat dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari peristiwa tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa Asbab al-Nuzul ada beberapa unsur penting yang harus dilihat dalam menganalisa sebab turunnya suatu ayat, yaitu adanya suatu peristiwa, pelaku, waktu, dan tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda. Hal ini tidak berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama. Tetapi ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai aqidah, iman, kewajiban-kewajiban dalam Islam.

Qur'an : Pembahasan Tentang Quran Sesi 2



Al-quran karim adalah mu'jizat islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh ilmu kemajuan pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulallah Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikan Qur'an kepada para sahabatnya - Orang orang Arab Asli - sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW.

Bukhari, Muslim serta yang lain meriwayatkan dari ibnu Mas'ud dengan mengatakan : "Ketika ayat ini diturunkan : 'orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman' (Al-An'am:82), banyak diantara para sahabat merasa resah, lalu mereka bertanya kepada Rasullah SAW :"ya Rasullah siapakah diantara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?" Nabi menjawab: "kezaliman disini bukan seperti yang kamu fahami, tidakkah kamu pernah mendengan apa yang dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh Sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar (Q.S: Lukman : 13) jadi yang dimaksud dengan kezaliman disini ialah kemusyrikan.

Rasulullah menafsirkan kepada mereka beberapa ayat seperti dinyatakan oleh imam Muslim dan yang lain, yang bersumber dari Uqbah bin Amir ia berkata : "Aku pernah mendengar RAsulullah berkata diatas mimbar : 'dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Q.S : Alanfal :60) ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah"

para sahabat sangat antusias untuk menerima Qur'an dari RAsulullah SAW, menghafalnya dan memahaminya. Hal itu merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Anas RA : "Seseorang diantara kami bila telah membaca surah BAqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar menurut pandangan kami." begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan Qur'an dan memahami hukum-hukumnya. Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, ia mengatakan :"Mereka yang membacakan Qur'an kepada kami. seperti Usman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi SAW sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata:'Kami mempelajari Qur'an berikut ilmu dan amalnya sekaligus."

Rasulullah tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu selain Qur'an, karena ia khawatir Qur'an akan tercampur dengan yang lain. Muslim meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa RAsulullah SAW berkata: Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan dari aku Selain Qur'an, hendaklah dihapus. dan diceritakan apa yang dariku; dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka"

Sekalipun sesudah itu Rasulullah SAW mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur'an tetap berdasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman RAsulullah SAW., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar RA.

Pada saat kekhalifahan Usman RA dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut MUSHAF IMAM. salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-RAsmul Ustmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari Ilmu Rasmil Qur'an.

Kemudian datang masa kekhalifahan Ali RA. dan atas perintahnya Abul Aswad ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada Qur'an. ini juga dianggap sebagi permulaan ilmu I'rabil Qur'an. Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur'an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda pula dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para Tabi'in.

Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al 'Asy'ari dan Abdullah bin Zubair. Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin 'Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab dan apa yang diriwayatkan mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir yang sempurna; tetapi terbatas pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. mengenai para abi'in, diatara mereka ada yang satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu dari para sahabat di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Diantara murid-murid ibn Ababs di mekkah yang terkenal ialah SA'id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan Ata' bin Abi Rabah. dan terkenal pula diantara murid-murid Ubay bin Ka'ab di Madinah, Zaid bin Aslam, Abul ALiyah dan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazi. Dari murid-murid Abdullah ibn Mas'ud di Irak yang terkenal Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, 'Amir As Sya'bi, Hasan Basri dan Qatadah bin Di'amah as-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata:"adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka Sahabat Ibn Abbas Seperti Mujahid, 'Ata' bin abi rabih, Ikrimah Maula Ibn Abbas, TAwus, Abusy Sya'sya, Sa'id Ibn Zubair dan lain-lain. begitu juga penduduk Kufah dari sahabat-sahabat Ibn Mas'ud dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir lain. Ulama penduduk Madinah dalam Ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair Ibn Aslam, Malik dan Anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahab, mereka semua berguru kepadanya.

dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, Ilmu Gharibil Qur'an, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmul Makki wal Madani dan ilmu Nasikh wal Mansukh. tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara di dikte kan.

Pada abad hijri tiba masa pembukuan (tadwin) yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala sebabnya yang bermacam-macam dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir alQur'an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan dari para sahabat atau dari para tabi'in.

diantara mereka itu yang terkenal adalah Yazid bin Harun as Sulami (wafat 117H), Syu'bah bin HAjjaj (Wafat 160 H), Waki' bin Jarrah (Wafat 197 H) Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H) dan Abdurrazaq bin Hammam (WAfat 112 H). mereka semua itu adalah ahli hadis, sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya, Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian langkah mereka di ikuti oleh para ulama dengan menyusun tafsir lebih sistematis diantaranya berdasarkan susunan ayat. yang paling terkenal diantara mereka adalah Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H)

semenjak at tabari bermuculan berbagai penulisan yang membahas tentang alquran secara bebas dan mandiri sehingga lahirlah dua bentuk penafsiran yaitu tafsir bil ma'sur (tafsir berdasarkan riwayat dan tafsir bil ra'yi (tafsir berdasarkan penalaran). Ali bin al-Madini (wafat 234 H) guru Imam BUkhari menyusun karangan mengenai asbabun Nuzul, Abu Ubaid al-Qasim bin salam (wafat 224 H) menulis tentang nasikh mansukh dan Qira'at. Ibn Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang problematika al-Qur'an (Musykilatul Qur'an). Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (Wafat 309 H) menyusun al-HAwi fi Ulumil Qur'an. Abu Bakar as Sijistani (Wafat 330 H) menyusun Gharibul Qur'an. Muhammad bin Ali al Afdawi (wafat 388 H) menyusun al Istigna' fi ulumil qur'an).